Kepercayaan Sebuah Mitos Dan Animis Budaya Sambas


"ANTAR AJUNG"


         


















Kita tidak membicarakan persoalan kedatangan isalam dan proses islamisasi di Alam Melayu Sambas. Perhatian kita akan di fokuskan kepada kesan-kesan islamisasi itu dan juga kekuatan-kekuatan dari padanya yang menentukan sifat temadun “Melayu di masalalu dan sekarang. Cuma perlu juga disinggung bagai mana sebelum Islam datang, bahwa masyarakat lokal di Sambas sudah memeluk agama Hindu yang di bawa oleh kerajaan Sriwijaya sudah mengakar dalam amalan-amalan masyarakat Melayu Sambas.
Tetapi amalan-amalan Melayu Sambas dapat dipilah atau dipisah dari tradisi yang kalau orang luar, seakan ia adalah bagian dari praktek keagamaan,padahal ia merupakan tradisi yang sudah turun temurun. Ia mesti di lepas dari suatu aqidah islam, karena aqidah islam menjadi landasan kokoh bagi berdirinya bangunan peradaban manusia yang fitrah di Alam Melayu Sambas. Dasar pijakan alam Melayu Sambas adalah pancaran lahirnya berbagai aturan, hukum, undang-undang,dan tata nilai dengan segenap turunannya. (derivate values). (Bakran Suni,2005:46).
            Berdasarkan halitulah, maka Rasulullah Saw, telah menata masyarakat Madinah Al-Munawwarah setelah beliau melakukan Hijrah dari Mekkah ke Yastrib (Madinnah) menjadi suatu masyarakat yang plural (majemuk). Rasulullah Saw. Bukan saja membentuk dan membina para sahabatnya dengan aqidah islam yang kuat dan konsisten tetapi juga membangun komunitas masyarakat islam yang pluralistik (majemuk), karena terdapat pula masyarakat komunitas lain yang beragama yahudi, Nasrani, dan lainnya dan menegakkan sistem pemerintahannya, walaupun ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum kemasyarakatan belum sempurna di turunkan. Hal ini tercermin dalam syahadat Laa ilaaha illalah (Kalimat Tauhid) sebagai asas bagi segala sesuatu yang dihadapinya.
Asas dari kehidupan seorang muslim, asas hubungan interaksi dengan sesama manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, perselisihan, kekuasaan, pemerintahan, dan bernegara.(Ibid, 2004:46)
            Berhubungan dengan hal tersebut diatas maka membangun komunitas masyarakat alam Melayu Sambas, dengan amalan-amaln tradisi masyarakat sudah bercampur dengan adat budaya yang mengakar sejak sebelumnya sudah bersentuhan dengan agama Hindu, sebelum islam datang. Maka setelah Islam di anut oleh Masyarakat Melayu Sambas, campuran antara mitos dan animis sudah bercampur. Seperti ketika anak masih di kandung 7 bulan, ketika melahirkan bayi, ketika perkawinan, ketika Antar Jung dan lain-lain amalan-amalan tradisi Melayu Sambas sudah melekat dalam adat tradisi Melayu.
            Sebagai salah satu contoh seperti ketika masyarakat ingin bertanam padi seharusnya ia kembali mempercayakan kepada ALLAH SWT agar membaca Basmallah dan Dzikir saja sudah cukup untuk bersemai benih padi, tetapi tradisi masyarakat terlanjur sudah melekat dalam seharian. Antar Jung sebagai tradisi Masyarakat Melayu Sambas, bahwa setiap tahun di bulan musim tanam, bulan agustus diadakan suatu tradisi pantai disebut dengan nama ANTAR JUNG. Konon kisahnya asal muasal Antar Jung ini adalah dilakukan untuk membalas jasa para leluhur yang telah datang untuk memberikan rezeki berupa padi kepada penduduk pantai.
            Pada zaman dahulu kata Bachtiar ketika wawancara, bahwa leluhur kita yang memang ahli dalam mengarungi samudra luas, suatu ketika kehabisan air minum sewaktu berlayar, sehingga harus mencari air tawar di daratan. Segera perahu layar di belokkan kearah tepi pantai. Dibawalah segera kantong-kantong air untuk pergi mencari air tersebut. Karena sifat para leluhur itu yang ramah tamah terhadap para penduduk sekitar pantai itu, maka tak heran mereka cepat akrabdan dapat diterima dengan baik oleh penduduk pantai itu. Hajat mereka untuk mencari air telah di capai. Dan para penduduk pantai bahkan telah membantu mereka yang memerlukan bantuan. Sebagai tanda terima kasih, para leluhur telah memberikan benih padi kepada penduduk dan diajarkan cara bercocok tanam. Benih padi itu rupanya dapat tumbuh subur di daerah tersebut. Karena padi yang ditanam berhasil berlipat ganda, dan dapat dijadikan sebagai makanan pokok, maka berkumpullah para pebduduk pantai untuk bermusyawarah bagaimana caranya untuk mengenangkan budi dan jasa para leluhur yang berkenan memberikan bibit benih padi tersebut.


            Akhirnya mereka sepakat untuk membuat semacam “Jung Kecil” yang diumpamakan jung milik leluhur yang berjasa itu. Kedalam jung tersebut diletakkan sajian berupa beras/padi, minyak kelapa, ketupat, ayam jantan yang masih hidup, dan banyak lagi bahan-bahan yang lain, persis seperti bahan-bahan yang ada dalam jung milik leluhur yang pernah mereka lihat itu, kemudian dilepas kelaut. Mereka berpendapat ketika tim peneliti ke pinggir pantai yaitu H.Ahmad (umur 92 tahun) di jalan tanah hitam kecamatan Paloh itu mengatakan, bahwa itulah cara yang baik dan cocok sebagai membalas jasa para leluhur. Lama kelamaan tradisi ini berkembang terus hingga pada masa sekarang. Katanya antar Jung itu dibuat kecil, kini telah dibuat agak besar dan bervariasi bahkan di tata semacam lomba Jung. Sebab kini tiap-tiap desa di pinggiran pantai masing-masing ikut bersama untuk meramaikan Antar Jung. Sehari sebelum pelaksanaan di mulai orang telah sibuk mengemas tempat upacara. Pawang atau dukun siak pun telah dipanggil ketempat yang telah di tentukan. Sarana-sarana di persiapkan lengkap seperti tali bayu (ayunan tempat sang Pawang bersiak), kemenyan, ratih putih dari pada pulut yang dipanaskan, rokok Gantal, dupa, juadah bintang lima, cucur daram-daram, dan lain-lain semua telah di persiapkan.
            Pada malam harinya sang pawang atau dukun telah beraksi untuk memimpin acara dan siak pun dimulai. Pawang beserta pembantunya yang di sebut paradi sangat memegang peranan penting dalam upacara ini. Sang penabuh gendang akan selalu mengiringi pukulan pukulan tabuhnya semalam suntuk sampai siang, dukun siak selesai acara. Pada pagi harinya sebelum Jung itu di bawa beramai-ramai ke pantai telah di siapkan pula air kasai, tepung beras yang di beri airsampai kadang-kadang satu ember besar. Kemudian disiramkan kiri dan kanan sepanjang jalan sampailah ke tempat tujuan. Sebelum Jung di perlmbakan dan di antar ke laut kadang – kadang pula terlihat orang beradu pencak silat yang diiringi bunyi gong sebagai tradisi orang Melayu Sambasketika ada keramaian, bahkan memperlihatkan kebal terhadap benda tajam yang di pertontonkan kepada orang ramai. Setelah semua berkumpul yang biasanya cukup banyak jumlahnya, maka sang pawang pun memulai pelepasan Jung-Jung tersebut.
            Setelah selesai pelepasan, maka sedikit demi sedikit orang mulai perlahan meninggalkan aren, pulang kerumah mereka masing-masing dengan membawa kesan-kesan tersendiri. Memang sudah menjadi adat tradisi setelah hari pelepasan itu selesai, maka pawang/dukun Jung mengumumkan pantang-pantang larang, seperti :
1. Kepada warga setempat tidak boleh memanjat jenis pokok kayu.
2. Dilarang bersiul, terlebih waktu senja dan malam hari.
3. Jangan menerima tamu yang akan bermalam dirumah penduduk. Apabila seseorang akan bertamu juga, maka ia harus meninggalkan rumah tempat ia bertamu, sebelum malam hari.
            Semua pantang larang tersebut untuk tiga hari lamanya. Apabila ada yang sengaja melanggar pantang tersebut, maka padanya akan dikenakan denda seratus ketupat dan tempas adat lainnya.
Demikianlah sekilas tentang adat “ANTAR JUNG” tradisi di daerah pantai dan Antar Jung itu sendiri biasanya di lakukan di pantai Arung Parak Madang (Kecamatan Tangaran dan Kecamatan Paloh) pantai Tanah Hitam Matang Danau (kecamatan Paloh) Kabupaten Sambas.

Mengantar Ajung ke laut merupakan wisata budaya Pantai Suak Nipah Arung Medang Kecamatan Tangaran dan desa Pancur Tanah Hitam kecamatan Paloh.

0 Response to "Kepercayaan Sebuah Mitos Dan Animis Budaya Sambas"