LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST PARTUM


1.  Pengertian
Mochtar (1998: 115) menyatakan “Post partum atau masa nifas adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Lama masa nifas yaitu 6 sampai  8 minggu”. Wiknjosastro (2002: 238) mendifinisikan post partum adalah masa yang dimulai dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, tetapi seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu tiga minggu. Sedangkan menurut Novak (1999: 338). “puerpurium merupakan interval waktu dari haid pertama kelahiran bayi sampai dengan enam minggu, perhitungan hari di mulai dari hari pertama setelah persalinan. Puerperium ditandai dengan meningkatnya laktasi dan kembalinya organ reproduksi ke posisi sebelum hamil”. Berdasarkan pendapat lain bahwa “post partum atau puerpureum atau nifas adalah masa setelah peralihan dimana terjadi perubahan retroprogresif (kembalinya alat kandungan seperti saat sebelum hamil) dan progresif (produksi susu untuk laktasi, pulihnya siklus menstruasi dimulainya peran orangtua) yang lamanya 6 minggu” (Pillitari, 1999). 
Dapat disimpulkan bahwa post partum merupakan masa yang dimulai dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, dimana terjadi perubahan alat-alat kandungan pulih kembali seperti sebelum hamil. 


Ada tiga periode post partum menurut Mochtar (2002: 115) yaitu: 
Periode Immidiate (krisis) yaitu keadaan yang terjadi setelah persalinan mulai 2-4 jam segera setelah lahir sampai 24 jam setelah persalinan, periode early yaitu keadaan yang terjadi pada permulaan nifas, waktunya mulai 1 hari setelah persalinan sampai 1 minggu, dan periode Late yaitu keadaan yang terjadi setelah melahirkan mulai 1 minggu sampai 6 minggu berikutnya.

2.  Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum 
a.       Perubahan Fisiologi
1.      Involusi alat-alat kandungan
Dalam masa nifas alat-alat genetalia internal maupun eksternal akan berangsur-angsur pulih kembali seperti prahamil. Perubahan alat-alat genital ini dalam keseluhan  disebut involusi (Wiknjosastro, 1999: 237)
Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks setelah post partum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan korpus uterus yang dapat mengadakan kontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah dan konsistensinya lunak, segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan kedalam kavum uteri. Setelah 2 jam hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri. Hal ini baik diperhatikan dalam menangani kala uri (Wiknjosastro, 2002: 238).
 “Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Otot uterus berkontraksi segera pada post partum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan” (Wiknjosastro, 2002: 238)
Tabel 1: Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi 
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi lahir
Uri lahir
1 minggu
2 minggu
6 minggu
8 minggu Setinggi pusat
2 jari bawah pusat
Pertengahan pusat-simpisis
Tidak teraba diatas simpisis
Bertambah kecil
Sebesar normal 1000 gram
750 gram
500 gram
350 gram
50 gram
30 gram
                                                                                                (Mochtar, 1998: 115)
 “Bekas Implantasi Uri mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan diameter 7,5 cm. sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu ke 6 2,4 cm dan akhirnya pulih” (Mohctar, 1998: 116).
 “Lokhea adalah pengeluaran cairan sisa lapisan endometrium dan sisa dari tempat implatasi plasenta” (Manuaba, 1998: 192).            Sifat lochea berubah-ubah seperti secret luka, berubah menurut tingkat penyembuhan luka, adapun jenis-jenisnya antara lain : lochea rubra (Cruenta), berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, desidua, verniks caseosa, lanugo, dan mekoneum selam 2 hari pasca persalinan, lochea sanguinolenta, berwarna merah kuning berisi darah dan lender, hari ke 3-7 pasca persalinan, lochea serosa, berwarna kuning, tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14 pasca persalinan, lochea alba, cairan putih setelah 4 minggu, lochea Purulenta, terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk, locheastatis apabila lochea tidak lancer keluarnya. (Mochtar, 1998: 116)
Perubahan pada endometrium ialah timbulnya thrombosis, degenerasi dan necrosis diantara implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu memiliki permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah tiga hari permukaan endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Regenerasi endometrium terdiri dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2-3 minggu (Wiknjosastro, 2002: 238)
Hilangnya estrogen pada post partum berperan dalam menipiskan mukosa vagina dan menghilangkan rugae. Pembengkakan, dinding lunak vagina berlahan-lahan akan kembali seperti keadaan pra hamil selam 6-8 minggu setelah persalinan. Rugae muncul kembali setelah 4 minggu setelah persalinan, antara primipara dan multipara berbeda. Kekeringan pada vagina dan rasa tidak nyaman saat koitus (dyspareunia) dapat terjadi hingga fungsi ovarium kembali dan menstruasi mulai terjadi (Bobak, 1995: 442)
Selama persalinan perineum mendapatkan tekanan yang besar yang kemudian setelah persalinan menjadi udema. Perawat perlu mengkaji tingkat kenyamanan sehubungan dengan adanya luka episiotomi, laserasi dan hemoroid, perawat harus melaporkan adanya udara, kemerahan dan pengeluaran (darah, pes, serosa) (Pilliteri, 1999)
Ligament-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan persalinan, setelah bayi lahir, berangsur-angsur ciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang menyebabkan uterus jatuh ke belakang (Wiknjosastro, 2002: 239)
2.      Laktasi
 Diawal kehamilan, peningkatan estrogen yang diproduksi oleh plasenta menstimulasi perkembangan kelenjar susu. Pada 2 hari pertama post partum terdapat perubahan pada mamae ibu post partum. Semenjak masa kehamilan kolostrum telah di ekskresi. Pada 3 hari pertama post partum mammae  penuh atau membesar karena sekresi air susu. Penurunan kadar estrogen saat kelahiran plasenta diikuti dengan meningkatnya kadar prolaktin menstimulasi produksi air susu (Pilliteri, 1999) 
Ketika bayi mulai menghisap putting susu hipotalamus merangsang kelenjar pituitary posterior untuk melepaskan oksitosin. Hal ini menyebabkan kontraksi otot-otot saluran susu mengeluarkan air susu. Respon ini disebut reflek Let down (Novak, 1999: 345).
3.      Tanda-tanda vital 
Tanda-tanda vital dapat memberikan petunjuk adanya bahaya post partum seperti perdarahan, infeksi dan komplikasi lainnya. Sehingga sangat penting untuk memantau tanda-tanda vital post operasi (Novak, 1999: 338)
Jumlah denyut nadi normal antara 60-80 kali permenit segera setelah partum dapat terjadi bradikardi. Trakhikardi mengidentifikasikan perdarahan, infeksi, penyakit jantung dan kecemasan (Wiknjosastro, 2002: 241)
Tekanan darah akan kembali seperti prahamil setelah 6 jam setelah persalinan. Kadang-kadang tekanan darah meningkat tak lam kemudian setelah persalinan. Kondisi ini mungkin diakibatkan oleh beberapa factor yang meliputi rangsangan persalinan dan keadaan bayi. Tipe oksitosin yang diterima pasien nyeri, retensi urin atau kehamilan dengan hipertensi. Peningkatan tekanan darah yang disertai sakit kepala dicurigai pada kehamilan dengan heipertensi. Kenaikan tekanan darah 30 mmHg dari sistolik wanita normal dan diastolic lebih dari 15 mmHg (atau siastolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolic lebih dari 90 mmHg) harus segera dilepaskan. Jika tekanan darah itu lebih rendah daripada pra hamil menandakan banyaknya kehilangan darah selama persalinan atau perdarahan masih terus mengalir. Tekanan siastolik 100 mmHg atau kurang harus dilaporkan. Jika tekanan darah normal mulai turun perawat harus memeriksa aliran pendarahan. Penurunan tekanan darah disertai oleh peningkatan denyut nadi, namun jika klien berlanjut pada keadaan shock maka nadi perlahan melambat, lemah, terjadi dilatasi pupil abnormal, pucat, sianosis, kulit lembab, lemas dan tidak sadar (Novak,1999: 338)
Suhu tubuh normal pasien post partum adalah antara 36,2oC-380C. Kenaikan suhu tubuh hingga 380C diakibatkan oleh dehidrasi. Cairan dan istirahat biasnya dapat memulihkan suhu normal. Setelah 24 jam post partum, suhu 380C atau lebih dicurigai terjadi infeksi (Novak, 1999: 339)
Frekuensi pernafasan normal 14-24 x permenit. Bradypneu (pernafasan kurang dari 14-16 x permenit) dapat disebabkan oleh efek narkotik analgesis atau epidural narkotik. Tachipneu (pernafasan lebih dari 24 x permenit) dapat diakibatkan oleh nyeri, pendarahan masif atau shock, oleh karena emboli paru-paru atau edema paru-paru (Novak, 1999: 338)
Pada umumnya tidak ada tanda-tanda infeksi pernafasan atau distres pernafasan. Pada beberapa wanita mempunyai factor prewdisposisi penyakit emboli paru. Secara tiba-tiba terjadi dyispneu. Emboli paru dapat terjadi dengan gejala sesak nafas disertai hemoptoe dan nyeri pleura (Sherwen, 1999)
4.      Sistem persyarafan.
Ibu post partum hiperrefleksi mungkin terpapar kehamilan dengan hipertensi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut perawat harus mengkaji adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, oedema, nyeri epigastrik dan sakit kepala (Sherwen, 1999: 838)


5.      Sistem perkemihan
Pada masa post partum terjadi peningkatan kapasitas kandung kemih, bengkak dan memar jaringan di sekitar uretra yang menurunkan sensitivitas penekanan cairan (urin) dan sensasi kandung kemih yang penuh, sehingga berada pada resiko distensi berlebihan, kesulitan mengosongkan dan penimbunan residu (Olds, 1999)
Output urin meningkat pada 12-24 jam pertama post partum yaitu sekitar 2000-3000 ml.  produksi urin mencapai 3000 ml pada 2 hari post partum. Ibu post partum dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih setiap 3-4 jam. Fungsi ginjal aknan kembali normal setelah 1 bulan post partum (Novak, 1999)
6.      Sistem pencernaan
Perut terkadang terjadi reaksi penolakan sesudah melahirkan, karena efek dari progesterone dan penurunan gerakan peristaltic. Perempuan dengan seksio sesarea boleh menerima sedikit cairan setelah pembedahan, jika terdengar bising usus dapat mulai beralih ke makanan padat (Olds, 1999)
7.      Sistem musculoskeletal
Apabila di kedua ekstremitas atas dan bawah terdapat edema dikaji apakah terdapat pitting edema, kenaikan suhu, pelebaran  pembuluh vena dan kemerahan sebagai tanda thromboplebitis. Ambulasi harus sesegera mungkin dilakukan untuk dilakukan sirkulasi dan mencegah kemungkinan komplikasi (Sherwen, 1999: 838)
b.      Perubahan Psikologis
1.      Taking in Phase
Fase ini merupakan masa refleksi bagi wanita post partum. Selama periode ini wanita posr partum cenderung pasif. Wanita post partum cenderung dilayani oleh perawat daripada melakukan pemenuhan kebutuhan sendiri. Hal ini berkenaan dengan rasa ketidaknyamanan perineum nyeri setelah melahirkan atau haemorhoid, berkaitan dengan peran barunya, wanita post partum selalu ingin membicarakan pengalaman selama hamil hingga melahirkan. 
2.      Taking Hold Phase
Wanita post partum mulai berinisiatif untuk melakukan tindakan sendiri. Lebih suka membuat keputusan sendiri. Ibu mulai mempunyai ketertarikan yang kuat pada bayinya, dimasa inilah masa yang tepat untuk memberikan pendidikan tentang perawatan bayi. Tetapi ibu sering merasa tidak yakin tentang kemampuannya mengasuh bayi, disinilah dukungan positif dan semua pihak diperlukan. 
3.      Letting Go Phase
Ibu post partum akhirnya dapat menerima keadaan apa adanya. Proses ini memerlukan penyesuaian diri atas hubungan yang terjadi selam kehamilan. Wanita yang dapat melewati fase ini dianggap sudah berhasil dalam peran barunya (Pilliteri, 1999)

3.  Penatalaksanaan Ibu Post partum.
1.  Early Ambulation.
Ibu post partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation dimana ibu 8 jam post partum istirahat dan terlentang, setelah 8 jam boleh miring ke kiri, kanan, untuk mencegah trombosis dan boleh bangun dari tempat tidur setelah 24 jam post partum. Bayi berada satu ruangan dari ibu (Rooming In) (Novak, 1999: 344).
2.  Perawatan Perineum .
Bila ibu mengalami penjahitan pada perineum sebagai perawat harus memonitor setiap hari untuk meyakinkan bahwa proses penyembuhan luka baik dan melakukan vulva hygien dan perawatan luka perineum selama 24 jam pertama. Untuk mengurangi edema lakukan kompres dingin dan rendam bokong. Jaga kebersihan perineum dengan membersihkan vulva dari arah vagina ke anus, ganti pembalut sesudah buang air minimal 4 x sehari, cuci tangan sebelum dan sesudah mengganti pembalut dan perhatikan lochea yang keluar. Gunakan pakaian dalam yang meresap sehingga lochea tidak mengiritasi (Novak, 1999: 344)
3.  Perawatan Payudara.
Kedua payudara harus sudah dirawat selama kehamilan, areola mamae dan putting susu di cuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream agar tetap lemas (Wiknjosastro, 1999: 243).

4.  Pemberian Nutrisi.
Nutrisi ibu yang diberikan harus memenuhi gizi seimbang dan porsinya lebih banyak daripada saat hamil disamping untuk mempercepat pulihnya kesehatan setelah melahirkan juga untuk meningkatkan produksi ASI (Novak, 1999: 356).
5.  Pemantauan Suhu.
Suhu harus diawasi terutama pada minggu pertama dari masa nifas karena kenaikan suhu menandakan infeksi (Novak, 1999: 356).
6.  Pemantaun Sistem Perkemihan.
Setelah 6 jam post partum anjurkan ibu 8 untuk berkemih, jika dalam 8 jam ibu belum dapat buang air kecil atau sekali kencing belum melebihi 100 cc maka lakukan kateterisasi (Novak, 1999: 356).
7.  Pemantauan Defekasi.
BAB harus dilakukan 3-4 hari post partum. Bila masih sulit BAB dan terjadi konstipasi apalagi berak keras dapat diberikan obat laksan peroral tau per rectal. Jika belum bisa lakukan klisma (Mochtar, 1998: 117)
8.  Aktivitas Seksual.
Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat pengeluaran lochea dan episiotomi telah sembuh (akhir 4 minggu). Sebelum melakukan aktivitas seksual dianjurkan untuk menggunakan lubrikan seperti k-y jelli. Perhatikan posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk mencegah penetrasi penis yang terlalu dalam (Novak, 1999: 356)
9.  Istirahat.
Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan berlebihan, disarankan untuk kembali melakukan kegiatan rumah tangga seperti biasa perlahan-lahan serta dianjurkan untuk tidur siang selagi bayi masih tidur (Wiknjosastro, 1998: 116)
10.      Kontrasepsi.
Masa post partum adalah masa paling baik menawarkan kontrasepsi oleh karena ibu termotivasi untuk menggunakan alat kontrasepsi. Idealnya pasangan harus menunggu 2 tahun sebelum hamil lagi, maka disini peran perawat sebagai educator untuk menjelaskan maca-macam dan efek samping dari alat kontrasepsi tersebut (Novak, 1999: 356).

B.     EPISIOTOMI
1.  Pengertian
“Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin hymen, jaringan leptum, rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum untuk melebarkan jalan lahir sehingga mempermudah kelahiran” (Arif Mansjoer, 1999: 338).
Episiotomi adalah suatu tindakan operatif berupa sayatan pada perineun yang meliputi selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada rektovaginal, otot-otot dan fascia perineum dan kulit depan perineum.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
 Episiotomi bisanya dikerjakan pada hampir primipara pada perempuan dengan perineum kaku. 
2.  Tujuan episiotomi
Episiotomi bertujuan mencegah rupture perineum dan mempermudah pemulihan luka. Episiotomi dilakukan saat perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina (Arif Mansjoer, 1999: 338).
3.  Indikasi episiotomi
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun janin.
Indikasi ibu antara lain adalah: primigravida umumnya, perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu, apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunan, ekstraksi vakum dan anak besar, arkus pubis yang sempit.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
Indikasi pada janin antara lain adalah: sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untik mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin, sewaktu melahirkan janin dengan letak sungsang, letak defleksi, janin besar, pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti pada gawat janin, talipusat menumbung.  
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
 Kontraindikasi episiotomi antara lain adalah: bila persalinan tidak berlangsung pervaginam,bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva dan vagina. 
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
4.  Jenis episiotomi
Sayatan episiotomiumumnya menggunakangunting khusus, tetapiu dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu:
a.   Episiotomi medialis.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfngter.
Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah pendarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitaan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.
Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei inkomplet (laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
b.  Episiotomi mediolaperolis
Merupakan jenis insisi yang banyak digunakan karena lebih nyaman. Sayatan disini dimulai dari belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinei. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris. Episiotomi lateral.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
Jenis episiotomi ini tidak dilakukan lagi karena hanya dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih banyak dan sukar direparasi (Arif Mansjoer, 1999: 338)
Sayatan disini dilakukan ke narah lateral mulai kira-kira jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan pendarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).
c.   Insisi schutchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapu sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta sayatannya lebih lebar. 
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813 diakses tanggal 14 juli 2006).



C.    PLASENTA RISTAN
Taber (2002: 333) mendenifisikan plasenta ristan merupakan suatu plasenta yang tidak dapat dipisahkan dari dinding uterus secara sebagian. Keadaan ini disebabkan karena tidak adanya desidua basalis baik sebagian atau seluruhnya terutama lapisan yang berbusa. Plasenta ristan merupakan plasenta yang tidak terlepas secara spontan dalam waktu lebih dari 30 menit setelah kelahiran (Hartono, 1997: 51).
Komplikasi yang terjadi pada plasenta ristan biasanya menimbulkan perdarahan post partum dini atau lambat. Perdarahan berasal dari rongga rahim, dan kontraksi rahim biasanya baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya karena adanya subinvolusi, perdarahan berlangsung terus atau berulang. Infeksi dan sepsis oleh karena penyebaran kuman, toksik pembuluh darah (Hartono, 1997: 51).
Pengelolaan pada umumnya dilakukan kuretase. Kuretase harus dilakukan dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis, kemudian dilanjutkan dengan pemberian uterotonika dan antibiotik sebagai tindakan pencegahan. (Hartono, 1997: 51).

D.    KURETASE
1.  Pengertian kuretase
“Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi dengan menggunakan alat kuretase (sendok kerokan)” (Mochtar, 1998: 41).
2.  Tujuan kuretase adalah mengeluarkan hasil konsepsi, mengeluarkan plasenta yang belum lahir, mengeluarkan plasenta yang masih tertinggal sebagian di rahim. (Mochtar, 1998: 42).
3.  Persiapan Sebelum Kuretase
e     Persiapan penolang/tenaga kesehatan yaitu menentukan letak uterus, keadan servik.Besarnya uterus, hal-hal diatas berguna untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan, misalnya perforasi. (Mochtar, 1998: 42).
e     Persiapan penderita
•      Keadan umum baik.
          Keadaan umum klien sebelum menjalani kuretase harus baik atau stabil yang dimanisfestasikan dari pemeriksaan fisik. Yaitu pada tanda-tanda vital:
a.   Tekanan darah
Tekanan darah ini merupakan tanda bahwa sistem kardiovaskuler dalam keadaan baik. Tekanan darah ini memiliki kisaran nilai pada usia dewasa, sistol 110-120 mmHg, diastol antara 70-80 mmHg.
b.  Suhu badan normal
Seyogyanya pemariksaan suhu tubuh juga dilakukan pemeriksaannya biasanya untuk orang dewasa pada bagian ketiak dengan keadaan normal 36-370 C.
c.   Respiratory Rate.
Pernafasan atau respiratory rate juga harus dihitung selama 1 menit penuh, tidak hanya frekuensi tapi juga kedalaman, irama teratur atau tidak. Nilai normal untuk orang dewasa 16-20 x permenit.
d.  Nadi.
Pemeriksaan nadi ini juga menunjukkan faal dari jantung. Pemeriksaan nadi bisa dilakukan pada nadi radialis atau nadi bradikalis dengan waktu 1 menit penuh, frekuensi normal 60-80 x permenit.
e    Inform Concent.
Inform concent merupakan ajin tertulis yang dibuat secara sadar yang ditandatangani pasien atau keluarga dan juga tenaga kesehatan. Surat ini bermanfaat untuk melindungi klien terhadap tindakan kuertase yang lalai dan melindungi tenaga kasehatan terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. 
e    Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang ini dapat berupa EKG, USG, foto rontgen. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan penunjang dan sebagai bahan pertimbangan untuk tindakan.
e    Persiapan Mental.
Hal ini harus diperhatikan lebih lanjut karena persiapan secara psikologis sangat menentukan. Dengan menyarankan klien untuk berdoa dan tidak cemas serta untuk keluarga harus tetap memberi dukungan baik spiritual maupun psikologis sehingga semuanya berjalan lancar.
e    Pelaksaan kuretase 
Sebagai profilaksis, klien akan dipasang infuse, persiapan alat kuretase hendaknya tersedia dalam bak alat dalam keadaan aseptik (suci hama), hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi, penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, pada umumnya diperlukan anestesi infiltrasi lokal atau umum secara intravena dengan ketalar. (Mochtar, 1998: 42).
4.  Perawatan setelah kuretase.
a.   Segar latih mobitasi.
b.  Anjurkan klien kembali ke dokter, bila terjadi gejala-gejala, seperti: Nyeri perut (lebih dari 2 minggu), perdarahan berlanjut (lebih dari 2 minggu), perdarahan lebih dari haid, demam, menggigil, pingsan, klien diperbolehkan pulang 1-2 jam pasca tindakan joika tidak terdapat tanda-tanda komplikasi. (Mochtar, 1998: 42).

E.     PATHWAYS

F.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.  Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap atonia uteri. (Doengoes, 2001)
2.  Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
3.  Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka episiotomi (Doegoes, 2001: 427)
4.  Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
5.  Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan (Doegoes, 2001: 436)
6.  Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru. (Carpenito, 2000: 513)
7.  Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doegoes, 2001: 430)
8.  Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor eksternal perubahan lingkungan. 
9.      ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya manageman laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001: 513)
10.  Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi.



G.    INTERVENSI
1.  Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap atonia uteri. (Doengoes, 2001)
Tujuan : 
Syok hipovolemi tidak terjadi.
Kriteria hasil:
  Tekanan darah siastole 110-120 mmHg, diastole 80-85 mmHg.
  Nadi 60-80 kali permenit.
  Akral hangat, tidak keluar keringat dingin
  Perdarahan post partum kurang dari 100 cc
Intervensi :
•         Monitor vital sign
•         Kaji adanya tanda-tanda syok hipovelomik
•         Monitor pengeluaran pervagina.
•         Lakukan massage segera mungkin pada fundus uteri.
•         Susukan bayi sesegera mungkin.
2.  Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
  Ekspresi wajah klien tenang.
  Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
  Skala nyeri kurang dari 4.
  Nadi antara 60-80 kali permenit.
Intervensi :
•         Kaji sebab-sebab nyeri pada klien.
•         Ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan relaksasi.
•         Anjurkan pada klien untuk melakukan kompres dingin pada daerah perineum.
•         Kolaborasi pemberian analgesic sesuai advis dokter.
3.  Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka episiotomi. (Doegoes, 2001: 427)
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
  Tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah sekitar luka episiotomi.
  Tanda-tanda vital normal.
  Jumlah sel darah putih normal.
Intervensi :
•         Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
•         Monitor tanda-tanda vital.
•         Monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka episiotomi.
•         Beri perawatan pada luka episiotomi dengan menggunakan teknik septic dan antiseptic.
•         Anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan perineum.
4.  Gangguan eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
Tujuan :
Kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
  Klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam setelah melahirkan.
  Klien tidak merasakan ketegangan pada kandung kemih.
Intervensi :
•         Kaji intake cairan klien mulai terakhir saat pengosongan kandung kemih.
•         Anjurkan klien untuk merangsang BAK dengan menggunakan air hangat.
•         Kaji jumlah urin yang dikeluarkan.
•         Jika klien tidak bisa mengeluarkan sendiri secara spontan, kolaborasi untuk pemasangan kateter.
5.  Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan. (Doegoes, 2001: 436)
Tujuan :
Kebersihan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
  Klien dapat melakukan perawatan diri secara bertahap.
Intervensi :
•         Kaji factor-faktor penyebab yang berperan.
•         Tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan optimal.
•         Beri dorongan untuk mengungkapkan persaan tentang perawatan diri.
6.  Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru. (Carpenito, 2000: 513)
Tujuan :
Orang tua dapat menerima peran baru dalam keluarganya.
Kriteria hasil :
  Orang tua dapat menerima keberadaan bayinya.
  Orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran barunya.
  Orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayinya.
Intervensi :
•         Beri kesempatan untuk membina proses ikatan dengan bayinya.
•         Anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong bayinya.
•         Dengarkan cerita tentang pengalamannya selama hamil hingga melahirkan.
•         Berikan dukungan social yang diperlukan ibu.
7.  Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon. (Doegoes, 2001: 430)
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan lancar.
Intervensi :
Kaji pola defekasi klien.
Auskultasi bising usus.
Ajarkan pentingnya diit seimbang.
Dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan.8 sampai 10 gelas kecuali dikontraindikasikan.
Anjurkan untuk ambulasi dini sesuai toleransi.
Anjurkan makan makanan tinggi serat.
Berikan laksatif jika diperlukan.
8.  Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, faktor eksternal perubahan lingkungan. 
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan pola tidur.
Kriteria hasil :
  Pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang faktor gangguan tidur.
  Meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur.
  Wajah klien rileks.
Intervensi :
Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan istirahat pasien.
Kaji factor-faktor penyebab gangguan pola tidur.
Berikan lingkungan yang nyaman.
Beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya, batasi kunjungan selama periode istirahat.




9.  Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya managemen laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara. (Carpenito, 2001: 513)
Tujuan :
Ibu dapt menyusui bayinya secara efektif.
Kriteria hasil :
  Ibu membuat keputusan menyusui bayinya.
  Ibu mengidentifikasi aktivitas yang menghalangi untuk menyusui.
Intervensi :
•     Kaji factor-faktor penyebab ketidakefektifan menyusui.
•     Dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara terbuka.
•     Kaji keadaan ibu dan bayi.
•     Ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang baik.
•     Ajarkan cara menyusui yang baik, bila ada gejal mastitis atau abses payudara (ditandai bengkak dan nyeri). Anjurkan untuk menghubungi perawat dan dokter.
10.      Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi.
Kriteria hasil :
  Bayi menerima nutrisi yang adekuat.
  Ibu menunjukkan peningkatan ketrampilan dalam pemberian ASI.
  Bayi tampak tenang.

Intervensi :
•     Kaji pola makan bayi dan kebutuhan nutrisi bayi.
•     Beri intervensi spesifik untuk meningkatan pemberianmakan per oral yang efektif.
•     Tingkatan tidur dan kurangi pemakaian energi yang tidak.
•     Ajarkan cara menyusui yang benar.
•     Ajarkan perawatan payudara post partum.
http://saidbongkemtulen.blogspot.com/2012/05/laporanpendahuluan-asuhan-keperawatan_26.html




0 Response to "LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST PARTUM"